SITUS WATUPATOK, SEJARAH PACITAN YANG TERLUPAKAN DAN DILUPAKAN
Judul |
: |
SITUS WATUPATOK, SEJARAH PACITAN YANG
TERLUPAKAN DAN DILUPAKAN |
ISBN |
: |
|
Penulis |
: |
Dr. Agoes
Hendriyanto, S.P.,M.Pd Djohan
Perwiranto, S.Pd, MSI Amat Taufan,
S.Sos |
Penyunting |
: |
Muhamad Rafid
Romadhoni |
Tata letak |
: |
Tim KPSB
Pacitan |
halaman |
: |
86 |
Ukuran kertas |
: |
Unesco 16x24 |
Harga |
: |
35000 |
Penerbit |
: |
CV. Nata Karya |
Sinopsis |
: |
Bismillah Elingosiro, Engsun Lan Niro Kabeh
Ojo Lali Lan Nglali. Alang-Alang Dudu Aling-Alingmargahing Kautama Buku ini menyoroti pentingnya Situs Watupatok
sebagai warisan budaya dan sejarah yang vital bagi Kabupaten Pacitan, Jawa
Timur. Penulis menyadari bahwa buku ini jauh dari sempurna dan mengajak
peneliti lain untuk melanjutkan upaya menemukan bukti baru terkait situs ini.
Terutama karena wilayah Watupatok rawan tanah longsor yang bisa menimbun
benda-benda cagar budaya bernilai sejarah. Kurangnya juru pelihara juga
menyebabkan banyak benda bersejarah di situs ini hilang atau rusak. Situs Watupatok, yang terletak di Desa
Watupatok, Kecamatan Bandar, merupakan bagian dari bentang Pegunungan Sewu
yang kaya akan sejarah dan budaya. Situs ini menjadi saksi bisu perjalanan
panjang sejarah Pacitan, di mana prasasti-prasasti dari masa pemerintahan
Raja Dyah Balitung Watukura memberikan informasi berharga tentang masa lalu.
Prasasti-prasasti penting yang diterbitkan pada masa pemerintahannya, seperti
Prasasti Matyasih, Taji, Taji Gunung, Telang 1, dan Telang 2, mengungkapkan
banyak aspek kehidupan dan pemerintahan pada masa itu. Watupatok mencerminkan nilai budaya dan
religius masyarakat masa lalu. Prasasti-prasasti yang ditemukan di sana
mencatat berbagai peristiwa penting seperti upacara keagamaan dan kegiatan
pemerintahan. Pengakuan terhadap situs ini sebagai bukti sejarah hari jadi
Pacitan adalah langkah penting dalam pelestarian warisan budaya. Pengakuan
ini bukan hanya bentuk penghargaan terhadap sejarah, tetapi juga upaya untuk
melestarikan dan mempromosikan nilai-nilai budaya yang terkandung di
dalamnya. Penulis menyimpulkan bahwa prasasti di
Watupatok memiliki kemiripan dengan prasasti Watukura serta prasasti yang
dikeluarkan oleh Raja Dyah Balitung Watukura, menunjukkan hubungan sejarah
yang erat. Penulis merekomendasikan dilakukannya uji laboratorium untuk
menentukan usia benda cagar budaya di situs Watupatok guna menyempurnakan
penelitian. Penulis juga memilih tanggal 27 Juli, yang terdapat pada prasasti
Watukura, sebagai tanggal yang dapat diperingati sebagai Hari Jadi Pacitan. Dengan demikian, buku ini tidak hanya
menawarkan wawasan sejarah tetapi juga menjadi ajakan bagi masyarakat dan
peneliti untuk menjaga dan melestarikan warisan budaya Pacitan. |
Komentar
Posting Komentar